Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya

Authors

  • Abdul Halim Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DOI:

https://doi.org/10.14421/ajish.v42i2.115

Abstract views: 20864 PDF downloads: 9621

Keywords:

teori hukum, positivisme, kritik

Abstract

Positivisme  adalah  aliran  yang  sejak  awal  abad  19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang  kehidupan  manusia,  terutama  dalam  kajian  bidang hukum.  Dalam  perkembangannya  ilmu  hukum  mengklaim dirinya sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan prilaku warga  masyarakat  (yang  semestinya  tertib  mengikuti  normanorma  kausalitas).  Maka  kaum  positivisme  ini  mencoba menuliskan  kausalitas-kausalitas  dalam  bentuk perundangundangan. Legal-positivism memandang  perlu  untuk  memisahkan  secara tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik, eknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivisme tidak ada  hukum  kecuali  perintah  penguasa,  bahkan  aliran  positivis legalisme  menganggap  bahwa  hukum  identik dengan  undangundang.  Hukum  dipahami  dalam  perpektif  yang  rasional  dan logik. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural. Dalam  positivisme,  dimensi  spiritual  dengan  segala perspektifnya  seperti  agama,  etika  dan  moralistas  diletakkan sebagai  bagian  yang  terpisah  dari  satu  kesatuan  pembangunan peradaban  modern.  Hukum  modern  dalam  perkembangannya telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual. Paham hukum seperti tersebut masih  membelenggu pola pikir kebanyakan  pakar  dan  praktisi  hukum  di  Indonesia.  Sebagai contoh terlihat dengan jelas pada: (1) Vonis bebas samasekali terhadap  Adlin  Lis  (pembalak  hutan)  oleh  Pengadilan  Negeri Medan  dan  (2)  Vonis  Majelis  Hakim  pada  tingkat  kasasi terhadap  Pollycarpus  yang  menyatakan  Pollycarpus  tidak terbukti  melakukan  pembunuhan  terhadap  Munir  sehingga hanya dipersalahkan memalsukan surat. Paham  hukum  seperti  tersebut  di  atas  sangat  berbeda  dengan paradigma hukum sosiologis yang berangkat dari asumsi bahwa hukum  adalah  sebuah  gejala  sosial  yang  terletak  dalam  ruang sosial dan dengan itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Hukum  bukanlah  entitas  yang  sama  sekali  terpisah  dan  bukan merupakan  bagian  dari  elemen  sosial  yang  lain.  Hukum  tidak akan  mungkin  bekerja  dengan  mengandalkan  kemampuannya sendiri  sekalipun  ia  dilengkapi  dengan  perangkat  asas,  norma dan institusi. Berdasarkan  paradigma  hukum  seperti  itulah  Majelis  Hakim Mahkamah  Agung  dalam  kasus  Peninjauan  Kembali  (PK) terhadap  kasus  terbunuhnya  Munir,  berkeyakinan  bahwa Pollycarpuslah yang membunuh aktivis HAM Munir.

Downloads

Published

15-07-2008

Issue

Section

Articles